Bicara
soal Moh. Hatta, hmmm siapakah dia ? seorang wakil presiden, seorang
pendamping, dan seorang pelengkap. Moh. Hatta diibaratkan seperti
"gula untuk pemanis sebuah teh", bersama Ir. Soekarno dan beberapa
tokoh lainnya, ia berjuang untuk memerdekakan Indonesia, hingga saatnya ia
dinobatkan menjadi wakil presiden pertama Republik Indonesia.
Kehidupan Awal
Mohammad Hatta lahir dari pasangan Muhammad
Djamil dan Siti Saleha yang berasal dari Minangkabau. Ayahnya merupakan seorang keturunan ulama tarekat
di Batuhampar,
dekat Payakumbuh, Sumatera Barat. Sedangkan ibunya berasal dari keluarga
pedagang di Bukittinggi. Ia lahir dengan nama Muhammad Athar pada tanggal 12 Agustus 1902.
Namanya, Athar berasal daribahasa Arab, yang berarti
"harum". Ia merupakan
anak kedua, setelah Rafiah yang lahir pada tahun 1900. Sejak kecil, ia telah
dididik dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang taat melaksanakan ajaran
agama Islam. Kakeknya dari pihak ayah, Abdurahman Batuhampar dikenal sebagai
ulama pendiri Surau Batuhampar, sedikit dari surau yang bertahan pasca-Perang Padri. Sementara itu, ibunya berasal dari keturunan
pedagang. Beberapa orang mamaknya adalah pengusaha besar di Jakarta.
Ayahnya meninggal pada saat ia masih berumur
tujuh bulan. Setelah kematian ayahnya, ibunya menikah dengan Agus Haji Ning,
seorang pedagang dari Palembang, Haji Ning sering berhubungan dagang dengan Ilyas
Bagindo Marah, kakeknya dari pihak ibu. Dari perkawinan Siti Saleha dengan Haji
Ning, mereka dikaruniai empat orang anak, yang kesemuanya adalah perempuan.
Pendidikan dan Pergaulan
Mohammad Hatta pertama kali mengenyam
pendidikan formal di sekolah swasta. Setelah enam bulan, ia pindah ke sekolah
rakyat dan sekelas dengan Rafiah, kakaknya. Namun, pelajarannya berhenti pada
pertengahan semester kelas tiga. Ia lalu pindah ke ELS di Padang (kini SMA Negeri 1 Padang)
sampai tahun 1913, kemudian melanjutkan ke MULO sampai tahun 1917. Selain pengetahuan
umum, ia telah ditempa ilmu-ilmu agama sejak kecil. Ia pernah belajar agama
kepada Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, dan beberapa ulama lainnya. Selain keluarga,
perdagangan memengaruhi perhatian Hatta terhadap perekonomian. Di Padang, ia
mengenal pedagang-pedagang yang masuk anggota Serikat Usaha dan juga aktif
dalam Jong Sumatranen Bond sebagai bendahara. Kegiatannya ini
tetap dilanjutkannya ketika ia bersekolah di Prins Hendrik School. Mohammad
Hatta tetap menjadi bendahara di Jakarta.
Kakeknya bermaksud akan ke Mekkah, dan pada kesempatan tersebut, ia dapat membawa
Mohammad Hatta melanjutkan pelajaran di bidang agama,
yakni ke Mesir (Al-Azhar). Ini dilakukan untuk
meningkatkan kualitas surau di Batu Hampar yang memang sudah
menurun semenjak ditinggalkan Syaikh Abdurrahman. Tapi, hal ini diprotes dan
mengusulkan pamannya, Idris untuk menggantikannya. Menurut catatan Amrin Imran,
Pak Gaeknya kecewa dan Syekh Arsyad pada akhirnya menyerahkan kepada Tuhan.
Keluarga
Pada 18
November 1945, Hatta menikah dengan Rahmi Hatta dan tiga hari setelah menikah,
mereka bertempat tinggal di Yogyakarta. Kemudian, dikarunai 3 anak perempuan
yang bernama Meutia Farida Hatta, Gemala Rabi’ah Hatta, dan Halida Nuriah Hatta.
Perjuangan dan Pergerakan
1921-1932: Sewaktu di Belanda
Pergerakan politik ia
mulai sewaktu bersekolah di Belanda dari 1921-1932. Ia
bersekolah di Handels Hogeschool (kelak sekolah ini
disebut Economische Hogeschool, sekarang menjadi Universitas
Erasmus Rotterdam), selama bersekolah di sana, ia masuk organisasi sosial Indische
Vereniging yang kemudian menjadi organisasi politik dengan
adanya pengaruh Ki Hadjar Dewantara,Cipto Mangunkusumo, dan Douwes
Dekker. Pada tahun 1923, Hatta menjadi bendahara dan mengasuh majalah Hindia
Puterayang berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Pada
tahun 1924, organisasi ini berubah nama menjadi Indische Vereniging (Perhimpunan Indonesia; PI).
Pada tahun 1926,
ia menjadi pimpinan Perhimpunan Indonesia. Sebagai akibatnya, ia terlambat
menyelesaikan studi. Di bawah
kepemimpinannya, PI mendapatkan perubahan. Perhimpunan ini lebih banyak
memperhatikan perkembangan pergerakan diIndonesia dengan memberikan banyak komentar, dan banyak
ulasan di media massa di Indonesia. Setahun kemudian, ia seharusnya
sudah berhenti dari jabatan ketua, namun ia dipilih kembali hingga tahun 1930. Pada
Desember 1926, Semaun dari PKI datang
kepada Hatta untuk menawarkan pimpinan pergerakan nasional secara umum kepada
PI, selain itu dia dan Semaun membuat suatu perjanjian bernama "Konvensi
Semaun-Hatta". Inilah yang dijadikan alasan Pemerintah Belanda ingin
menangkap Hatta. Waktu itu, Hatta belum meyetujui paham komunis. Stalin membatalkan keinginan Semaun,
sehingga hubungan Hatta dengan komunisme mulai memburuk. Sikap Hatta ini
ditentang oleh anggota PI yang sudah dikuasai komunis.
Pada tahun 1927,
ia mengikuti sidang "Liga Menentang Imperialisme, Penindasan Kolonial dan
untuk Kemerdekaan Nasional" di Frankfurt. Dalam sidang ini, pihak komunis dan utusan dari Rusia nampak
ingin menguasai sidang ini, sehingga Hatta tidak bisa percaya terhadap komunis.
Pada waktu itu, majalah PI, Indonesia
Merdeka masuk dengan mudah ke Indonesia lewat penyelundupan, karena banyak
penggeledahan oleh pihak kepolisian terhadap kaum pergerakan
yang dicurigai.

Pada 25 September 1927, Hatta bersama Ali Sastroamidjojo, Nazir Datuk Pamuntjak, dan Madjid Djojohadiningrat ditangkap oleh penguasa Belanda atas tuduhan mengikuti partai terlarang yang dikait-kaitkan dengan Semaun, terlibat pemberontakan di Indonesiayang dilakukan PKI dari
tahun 1926-1927, dan menghasut (opruiing) supaya menentang
Kerajaan Belanda. Moh. Hatta sendiri dihukum tiga tahun penjara. Mereka semua
dipenjara di Rotterdam. Dia juga dituduh akan melarikan
diri, sehingga dia yang sedang memperkenalkan Indonesia ke kota-kota di Eropa sengaja
pulang lebih cepat begitu berita ini tersebar.
Semua tuduhan tersebut, ia tolak dalam pidatonya "Indonesia Merdeka" (Indonesie
Vrij) pada sidang kedua tanggal 22 Maret 1928. Pidato ini sampai ke Indonesia dengan cara penyelundupan. Ia juga dibela 3
orang pengacara Belanda yang salah satunya berasal dari parlemen. Yang dari parlemen, bernama J.E.W. Duys.
Tokoh ini memang bersimpati padanya. Setelah ditahan beberapa bulan, mereka berempat
dibebaskan dari tuduhan, karena tuduhan tidak bisa dibuktikan
Sampai pada tahun 1931,
Mohammad Hatta mundur dari kedudukannya sebagai ketua karena hendak mengikuti
ujian sarjana, sehingga ia berhenti dari PI; namun demikian ia akan tetap
membantu PI. Akibatnya, PI jatuh ke tangan komunis, dan mendapat arahan dari partai komunis Belanda dan
juga dari Moskow. Setelah tahun 1931,
PI mengecam keras kebijakan Hatta dan mengeluarkannya dari organisasi ini. PI
di Belanda mengecam sikap Hatta sebab ia bersama Soedjadi
mengkritik secara terbuka terhadap PI. Perhimpunan menahan sikap terhadap kedua
orang ini.
Pada Desember 1931, para pengikut Hatta
segera membuat gerakan tandingan yang disebut Gerakan Merdeka yang kemudian
bernama Pendidikan Nasional Indonesia yang kelak disebut PNI Baru. Ini
mendorong Hatta dan Syahrir yang pada saat itu sedang
bersekolah di Belanda untuk mengambil langkah kongkret untuk mempersiapkan
kepemimpinan di sana. Hatta sendiri merasa perlu untuk menyelesaikan studinya
terlebih dahulu. Oleh karenanya, Syahrir terpaksa pulang dan untuk memimpin PNI. Kalau
Hatta kembali pada 1932, diharapkan Syahrir dapat melanjutkan
studinya.
1932-1941: Pengasingan
Sekembalinya
ia dari Belanda, ia ditawarkan masuk kalanganSosialis Merdeka (Onafhankelijke Socialistische
Partij, OSP) untuk menjadi anggota parlemen Belanda, dan menjadi perdebatan
hangat di Indonesia pada saat itu. Pihak OSP mengiriminya telegram pada
6 Desember 1932, yang berisi kesediaannya menerima pencalonan anggota Parlemen.
Ini dikarenakan ia berpendapat bahwa ia tidak setuju orang Indonesia menjadi
anggota dalam parlemen Belanda. Sebenarnya dia menolak masuk, dengan alasan ia
perlu berada dan berjuang di Indonesia. Namun, pemberitaan di Indonesia
mengatakan bahwa Hatta menerima kedudukan tersebut, sehingga Soekarno menuduhnya
tidak konsisten dalam menjalankan sistem non-kooperatif.
Setelah Hatta kembali dari Belanda, Syahrir
tidak bisa ke Belanda karena keduanya keburu ditangkap Belanda pada 25 Februari 1934 dan
dibuang ke Digul, dan selanjutnya ke Banda Neira. Baik di Digul maupun Banda Neira, ia banyak
menulis di koran-koran Jakarta, dan ada juga untuk majalah-majalah di Medan. Artikelnya tidak terlalu politis, namun
bersifat lebih menganalisis dan mendidik pembaca. Ia juga banyak membahas
pertarungan kekuasaan di Pasifik.
Semasa diasingkan ke Digul, ia membawa semua buku-bukunya ke tempat
pengasingannya. Di sana, ia mengatur waktunya sehari-hari. Pada saat hendak membaca,
ia tak mau diganggu. Sehingga, beberapa kawannya menganggap dia sombong. Ia juga merupakan sosok yang peduli
terhadap tahanan. Ia menolak bekerja sama dengan penguasa setempat, misalnya
memberantas malaria. Apabila ia mau
bekerja sama, ia diberi gaji f 7.50 sebulan. Namun, kalau tidak, ia hanya
diberi gaji f 2.50 saja. Gajinya itu tidak ia habiskan sendiri. Ia juga peduli
terhadap kawannya yang kekurangan.
Di Digul, selain bercocok tanam, ia juga membuat kursus kepada para
tahanan. Di antara tahanan tersebut, ada beberapa orang yang ibadah shalat dan
puasanya teratur; baik dari Minangkabau maupun Banten. Tapi, mereka
ditangkap karena -pada umumnya- terlibat pemberontakan komunis. Pada masa itu,
ia menulis surat untuk iparnya untuk dikirimi alat-alat pertukangan seperti paku dan
gergaji. Selain itu, dia juga menceritakan nasib orang-orang buangan dalam
surat itu. Kemudian, ipar Hatta mengirim surat itu ke koran Pemandangan di Jakarta dan segera surat itu
dimuat. Surat itu dibaca menteri jajahan pada saat itu, Colijn. Colijn mengecam
pemerintah dan segera mengirim residen Ambon untuk
menemui Hatta di Digul. Maka uang diberikan untuknya, Hatta menolak dan ia juga
meminta supaya kalau mau ditambah, diberikan juga kepada pemimpin lain yang
hidup dalam pembuangan.
Pada 1937, ia menerima telegram yang mengatakan dia dipindah dari
Digul ke Banda Neira. Hatta pindah bersama Syahrir pada
bulan Februari pada tahun itu, dan mereka menyewa sebuah rumah yang cukup
besar. Di situ, ada beberapa kamar dan ruangan yang cukup besar. Adapun ruangan
besar itu digunakannya untuk menyimpan bukunya dan tempat bekerjanya.
Sewaktu di Banda Neira, ia bercocok
tanam dan menulis di koran "Sin
Tit Po" (dipimpin Lim Koen Hian; bulanan ini berhenti pada 1938)
dengan honorarium f 75 dalam Bahasa Belanda. Kemudian,
ia menulis di Nationale
Commantaren (Komentar
Nasional; dipimpin Sam Ratulangi) dan juga, ia
menulis di koran Pemandangan dengan honorarium f 50 sebulan per
satu/dua tulisan. Hatta juga
pernah menerima tawaran Kiai Haji Mas Mansur untuk ke Makassar, dia menolak
dengan alasan kalaupun dirinya ke Makassara dia masih berstatus tahanan juga. Waktu
itu, sudah ada Cipto
Mangunkusumo dan Iwa
Kusumasumantri. Mereka semua sudah saling mengenal.
Selain itu, di Banda Neira, Hatta juga
mengajar kepada beberapa orang pemuda. Anak dr. Cipto belajar tata-buku dan sejarah. Ada juga anak asli
daerah Banda Neira yang belajar kepada Hatta. Ada seorang kenalan Hatta dari Sumatera Barat yang mengirimkan dua orang
kemenakannya untuk belajar ekonomi dan juga sejarah. Selain itu, dari Bukittinggi dikirim Anwar Sutan Saidi sebanyak empat orang pemuda yang belajar
kepada Hatta.
Pada tahun 1941, Mohammad Hatta menulis
artikel di koran Pemandangan yang isinya supaya rakyat Indonesia jangan memihak kepada baik ke pihak
Barat ataupun fasisme Jepang. Kelak, pada zaman Jepang tulisan Hatta dijadikan
bahan oleh penguasa Jepang untuk tidak percaya Hatta selama Perang Pasifik. Yang mana,
kelak tulisan Hatta dibaca Murase, seorang Wakil Kepala Kenpeitei (dinas intelijen) dan menyarankan
Hatta agar mengikuti Nippon
Sheisin di Tokyo pada November 1943.
1942-1945: Penjajahan Jepang
Pada
tanggal 8 Desember 1941, angkatan perang Jepang menyerang Pearl Harbor, Hawaii. Ini memicu Perang Pasifik, dan setelah Pearl
Harbor, Jepang segera menguasai sejumlah daerah, termasuk Indonesia. Dalam keadaan genting tersebut, Pemerintah Belanda memerintahkan untuk
memindahkan orang-orang buangan dari Digul ke Australia, karena khawatir kerjasama dengan Jepang. Hatta dan Syahrir dipindahkan pada Februari 1942, ke Sukabumi setelah menginap sehari di Surabaya dan naik kereta api keJakarta. Bersama kedua orang ini, turut pula 3 orang anak-anak dari Banda yang dijadikan anak angkat
oleh Syahrir.
Setelah itu, ia dibawa kembali ke Jakarta. Ia bertemu Mayor Jenderal Harada. Hatta menanyakan
keinginan Jepang datang ke Indonesia. Harada menawarkan kerjasama dengan Hatta. Kalau
mau, ia akan diberi jabatan penting. Hatta menolak, dan memilih menjadi
penasihat. Ia dijadikan penasihat dan diberi kantor di Pegangsaan Timur dan
rumah di Oranje Boulevard (Jalan Diponegoro).
Orang terkenal di masa sebelum perang, baik
orang pergerakan, atau mereka yang bekerjasama dengan Belanda, diikut sertakan
seperti Abdul Karim Pringgodigdo, Surachman, Sujitno
Mangunkususmo, Sunarjo Kolopaking, Supomo, dan Sumargo Djojohadikusumo. Pada masa ini, ia banyak mendapat
tenaga-tenaga baru.
Pekerjaan di sini, merupakan tempat saran
oleh pihak Jepang. Jepang mengharapkan agar Hatta memberikan nasehat yang
menguntungkan mereka, malah Hatta memanfaatkan itu untuk membela kepentingan
rakyat.
1945: Mempersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia
Saat-saat mendekati
Proklamasi pada 22 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) membentuk panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan dengan
tugas mengolah usul dan konsep para anggota mengenai dasar negara Indonesia. Panitia
kecil itu beranggotakan 9 orang dan diketuai oleh Ir. Soekarno.
Anggota lainnya Bung Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso. Kemudian pada 9 Agustus 1945, Bung Hatta
bersama Bung Karno dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat (Vietnam)
untuk dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Badan ini bertugas melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan
menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada Indonesia. Pelantikan
dilakukan secara langsung oleh Panglima Asia Tenggara Jenderal Terauchi.
Puncaknya pada 16 Agustus 1945, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok hari dimana
Bung Karno bersama Bung Hatta diculik ke kota kecil Rengasdengklok (dekat
Karawang, Jawa Barat). Penculikan itu dilakukan oleh kalangan pemuda, dalam
rangka mempercepat tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Malam hari, mereka
mengadakan rapat untuk persiapan proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediaman
Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol 1 Jakarta. Sebelum rapat, mereka
menemui somabuco (kepala pemerintahan umum) Mayjen Nishimura untuk mengetahui
sikapnya mengenai pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pertemuan
tersebut tidak menghasilkan kesepahaman sehingga tidak adanya kesepahaman itu
meyakinkan mereka berdua untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan itu tanpa
kaitan lagi dengan Jepang.
1945-1956: Menjadi Wakil Presiden pertama di Indonesia
Pada 17
Agustus 1945, hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia
dia bersama Soekarno resmi memproklamasikan kemerdekaan di Jalan Pegangsaan
Timur 56 Jakarta pkl10.00 WIB. Dan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus
1945, dia resmi dipilih sebagai Wakil Presiden RI yang pertama mendampingi
Presiden Soekarno. Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta amat gigih bahkan
dengan nada sangat marah, menyelamatkan Republik dengan mempertahankan naskah
Linggajati di Sidang Pleno KNIP di Malang yang diselenggarakan pada 25 Februari
– 6 Maret 1947 dan hasilnya Persetujuan Linggajati diterima oleh Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sehingga anggota KNIP menjadi agak lunak pada 6
Maret 1947. Dan pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli
1947, Hatta dapat meloloskan diri dari kepungan Belanda dan pada saat itu dia
masih berada di Pematang Siantar. Dia dengan selamat bersama dengan Gubernur
Sumatera Mr. T. Hassan tiba di Bukittinggi. Sebelumnya pada 12 Juli 1947 Bung
Hatta mengadakan Kongres Koperasi pertama di Tasikmalaya. Pada hari itu juga,
Hari Koperasi Indonesia ditetapkan dan Bung Hatta ditetapkan sebagai Bapak
Koperasi Indonesia. Kemudian, Bung Hatta dengan kewibawaannya sebagai Wakil
Presiden hendak menggoalkan persetujuan Renville dengan berakibat jatuhnya
Kabinet Amir dan digantikan oleh Kabinet Hatta. Pada era Kabinet Hatta yang
dibentuk pada 29 Januari 1948, Bung Hatta menjadi Perdana Menteri dan merangkap
jabatan sebagai Menteri Pertahanan.
Suasana panas waktu timbul pemberontakan PKI Madiun dalam bulan
September 1948, memuncak pada penyerbuan tentara Belanda ke Yogyakarta pada 19
Desember 1948. Bung Hatta bersama Bung Karno diangkut oleh tentara Belanda pada
hari itu juga. Di tahun yang sama, Bung Hatta bersama Bung Karno diasingkan ke
Menumbing, Bangka. Beberapa waktu setelah pengasingan karena mengalami adanya
sebuah perundingan Komisi Tiga Negara (KTN) di Kaliurang, di mana Critchley
datang mewakili Australia dan Cochran mewakili Amerika. Pada Juli 1949, terjadi
kemenangan Cochran dalam menyelesaikan perundingan Indonesia. Tahun ini,
terjadilah sebuah perundingan penting, Konferensi Meja Bundar (KMB) yang
diadakan di Den Haag sesudah berunding selama 3 bulan, pada 27 Desember 1949
kedaulatan NKRI kita miliki untuk selamanya. Ratu Juliana memberi tanda
pengakuan Belanda atas kedaulatan negara Indonesia tanpa syarat kecuali Irian
Barat yang akan dirundingkan lagi dalam waktu setahun setelah Pengakuan
Kedaulatan kepada Bung Hatta yang bertindak sebagai Ketua Delegasi Republik
Indonesia di Amsterdam dan di Jakarta. Di Amsterdam dari Ratu Juliana kepada
Drs. Mohammad Hatta dan di Jakarta dari Dr. Lovink yang mewakili Belanda kepada
Sri Sultan Hamengku Buwono IX. Sehingga pada akhirnya negara Indonesia menjadi
negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Bung Hatta terpilih menjadi Perdana
Menteri RIS juga merangkap sebagai Menteri Luar Negeri RIS dan berkedudukan di
Jakarta dan Bung Karno menjadi Presiden RIS. Ternyata RIS tidak berlangsung
lama, dan pada 17 Agustus 1950, Indonesia menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) dengan ibu kota Jakarta dengan Perdana Menteri Moh. Natsir.
Bung Hatta menjadi Wakil Presiden RI lagi dan berdinas kembali ke rumah yang
berada di Jalan Medan Merdeka Selatan 13 Jakarta. Di akhir tahun 1956, Hatta
tidak sejalan lagi dengan Bung Karno karena dia tidak ingin memasukkan unsur
komunis dalam kabinet pada waktu itu. Sebelum ia mundur, dia mendapatkan gelar
doctor honouris causa dari Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Sebenarnya gelar
doctor honouris causa ingin diberikan pada tahun 1951. Namun, gelar tersebut
baru diberikan pada 27 November 1956. Demikian pula Universitas Indonesia pada
tahun 1951 telah menyampaikan keinginan itu tetapi Bung Hatta belum bersedia
menerimanya. Kata dia, “Nanti saja kalau saya telah berusia 60 tahun.”.
Kemudian, pada 1 Desember 1956, Hatta memutuskan untuk berhenti sebagai Wakil
Presiden RI.
1956-1980: Setelah Pensiun
Setelah mundur dari jabatannya, dia dan keluarga
berpindah rumah dari Jalan Medan Merdeka Selatan 13 ke Jalan Diponegoro 57.
Bung Hatta tak pernah menyesal atas keputusan yang telah ia buat. Kegiatan
sehari-hari Bung Hatta setelah pensiun adalah menambah dari penghasilan menulis
buku dan mengajar. Meskipun sudah tak menjabat lagi sebagai Wakil Presiden,
pada tahun 1957 dia berangkat ke Cina karena mendapat undangan dari Pemerintah
RRC. Rakyat sana masih menganggap dia sebagai “a great son of his country”, terbukti
dari penyambutan yang seharusnya diberikan kepada seorang kepala negara di mana
PM Zhou Enlai sendiri menyambut dia yang bukan lagi sebagai wakil
presiden. Ketika Presiden Soekarno berada di puncak kekuasaannya pada tahun
1963, Bung Hatta pertama kali jatuh sakit dan perlu perawatan
di Swedia karena perlengkapan medis di sana lebih lengkap.
Sekitar
tahun 1965, Bung Hatta sering jadi bulan-bulanan serangan politik PKI. Pada 31
Januari 1970, melalui Keppres No. 12/1970 telah dibentuk Komisi Empat yang
bertugas mengusut masalah korupsi. Untuk keperluan itu Dr. Moh. Hatta (mantan
Wakil Presiden RI) telah diangkat menjadi Penasehat Presiden dalam masalah
pemberantasan Korupsi. Komisi Empat ini diketuai oleh Wilopo, SH, dengan
anggota-anggota: IJ Kasimo, Prof. Dr. Yohanes, H. Anwar Tjokroaminoto, dengan
sekretaris Kepala Bakin/Sekretaris Kopkamtib, Mayjen. Sutopo Juwono. Dr. Moh.
Hatta juga ditunjuk sebagai Penasehat Komisi Empat tersebut. Bung Hatta
dipercaya oleh Presiden Soeharto untuk menjadi Anggota Dewan Penasehat
Presiden. Pada 15 Agustus 1972, Bung Hatta mendapat anugerah Bintang Republik
Indonesia Kelas I dari Pemerintah Republik Indonesia.
Kemudian, di tahun yang sama Pemerintah Provinsi
DKI Jakarta mengangkat dia sebagai warga utama Ibukota Jakarta dengan segala
fasilitasnya, seperti perbaikan besarnya pensiun dan penetapan rumah dia
menjadi salah satu gedung yang bersejarah di Jakarta. Kemudian, pada tahun
1975, Bung Hatta menjadi anggota Panitia Lima bersama Prof Mr. Soebardjo, Prof
Mr. Sunario, A.A. Maramis, dan Prof Mr. Pringgodigdo untuk memberi pengertian
mengenai Pancasila sesuai dengan alam pikiran dan semangat lahir dan batin para
penyusun UUD 1945 dengan Pancasilanya. Ternyata, Bung Hatta resmi menjadi Ketua
Panitia Lima. Tak hanya itu, Bung Hatta kembali mendapatkan gelar doctor
honouris causa sebagai tokoh proklamator dari Universitas Indonesia yang
seharusnya diberikan pada tahun 1951. Pemberian gelar tersebut dilakukan di
Jakarta pada 30 Juli 1975 dan diberikan secara langsung oleh Rektor Mahar
Mardjono. Dan pada tahun 1979, dimana tahun tersebut merupakan tahun ke-5 Bung
Hatta masuk ke rumah sakit. Kesehatan Bung Hatta semakin menurun. Walaupun
begitu, semangatnya tetap saja tinggi. Ia masih mengikuti perkembangan politik
dunia.
Wafat
Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta setelah sebelas hari ia dirawat di sana. Selama
hidupnya, Bung Hatta telah dirawat di rumah sakit sebanyak 6 kali pada tahun
1963, 1967, 1971, 1976, 1979, dan terakhir pada 3 Maret 1980. Keesokan harinya,
dia disemayamkan di kediamannya Jalan Diponegoro 57, Jakarta dan dikebumikan di
TPU Tanah Kusir, Jakarta disambut dengan upacara kenegaraan yang dipimpin
secara langsung oleh Wakil Presiden pada saat itu, Adam
Malik. Ia ditetapkan sebagai pahlawan proklamator pada tahun 1986
oleh pemerintahan Soeharto.
Pergerakan politik ia
mulai sewaktu bersekolah di Belanda dari 1921-1932. Ia
bersekolah di Handels Hogeschool (kelak sekolah ini
disebut Economische Hogeschool, sekarang menjadi Universitas
Erasmus Rotterdam), selama bersekolah di sana, ia masuk organisasi sosial Indische
Vereniging yang kemudian menjadi organisasi politik dengan
adanya pengaruh Ki Hadjar Dewantara,Cipto Mangunkusumo, dan Douwes
Dekker. Pada tahun 1923, Hatta menjadi bendahara dan mengasuh majalah Hindia
Puterayang berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Pada
tahun 1924, organisasi ini berubah nama menjadi Indische Vereniging (Perhimpunan Indonesia; PI).
1932-1941: Pengasingan
Sekembalinya
ia dari Belanda, ia ditawarkan masuk kalanganSosialis Merdeka (Onafhankelijke Socialistische
Partij, OSP) untuk menjadi anggota parlemen Belanda, dan menjadi perdebatan
hangat di Indonesia pada saat itu. Pihak OSP mengiriminya telegram pada
6 Desember 1932, yang berisi kesediaannya menerima pencalonan anggota Parlemen.
Ini dikarenakan ia berpendapat bahwa ia tidak setuju orang Indonesia menjadi
anggota dalam parlemen Belanda. Sebenarnya dia menolak masuk, dengan alasan ia
perlu berada dan berjuang di Indonesia. Namun, pemberitaan di Indonesia
mengatakan bahwa Hatta menerima kedudukan tersebut, sehingga Soekarno menuduhnya
tidak konsisten dalam menjalankan sistem non-kooperatif.
1942-1945: Penjajahan Jepang
Pada
tanggal 8 Desember 1941, angkatan perang Jepang menyerang Pearl Harbor, Hawaii. Ini memicu Perang Pasifik, dan setelah Pearl
Harbor, Jepang segera menguasai sejumlah daerah, termasuk Indonesia. Dalam keadaan genting tersebut, Pemerintah Belanda memerintahkan untuk
memindahkan orang-orang buangan dari Digul ke Australia, karena khawatir kerjasama dengan Jepang. Hatta dan Syahrir dipindahkan pada Februari 1942, ke Sukabumi setelah menginap sehari di Surabaya dan naik kereta api keJakarta. Bersama kedua orang ini, turut pula 3 orang anak-anak dari Banda yang dijadikan anak angkat
oleh Syahrir.
1945: Mempersiapkan kemerdekaan Republik Indonesia
Saat-saat mendekati
Proklamasi pada 22 Juni 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI) membentuk panitia kecil yang disebut Panitia Sembilan dengan
tugas mengolah usul dan konsep para anggota mengenai dasar negara Indonesia. Panitia
kecil itu beranggotakan 9 orang dan diketuai oleh Ir. Soekarno.
Anggota lainnya Bung Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad Soebardjo, A.A. Maramis, Abdulkahar Muzakir, Wahid Hasyim, H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso. Kemudian pada 9 Agustus 1945, Bung Hatta
bersama Bung Karno dan Radjiman Wedyodiningrat diundang ke Dalat (Vietnam)
untuk dilantik sebagai Ketua dan Wakil Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI). Badan ini bertugas melanjutkan hasil kerja BPUPKI dan
menyiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak Jepang kepada Indonesia. Pelantikan
dilakukan secara langsung oleh Panglima Asia Tenggara Jenderal Terauchi.
Puncaknya pada 16 Agustus 1945, terjadilah Peristiwa Rengasdengklok hari dimana
Bung Karno bersama Bung Hatta diculik ke kota kecil Rengasdengklok (dekat
Karawang, Jawa Barat). Penculikan itu dilakukan oleh kalangan pemuda, dalam
rangka mempercepat tanggal proklamasi kemerdekaan Indonesia. Malam hari, mereka
mengadakan rapat untuk persiapan proklamasi Kemerdekaan Indonesia di kediaman
Laksamana Tadashi Maeda di Jalan Imam Bonjol 1 Jakarta. Sebelum rapat, mereka
menemui somabuco (kepala pemerintahan umum) Mayjen Nishimura untuk mengetahui
sikapnya mengenai pelaksanaan proklamasi kemerdekaan Indonesia. Pertemuan
tersebut tidak menghasilkan kesepahaman sehingga tidak adanya kesepahaman itu
meyakinkan mereka berdua untuk melaksanakan proklamasi kemerdekaan itu tanpa
kaitan lagi dengan Jepang.
1945-1956: Menjadi Wakil Presiden pertama di Indonesia
Pada 17
Agustus 1945, hari yang sangat ditunggu-tunggu oleh seluruh rakyat Indonesia
dia bersama Soekarno resmi memproklamasikan kemerdekaan di Jalan Pegangsaan
Timur 56 Jakarta pkl10.00 WIB. Dan keesokan harinya pada tanggal 18 Agustus
1945, dia resmi dipilih sebagai Wakil Presiden RI yang pertama mendampingi
Presiden Soekarno. Selama menjadi Wakil Presiden, Bung Hatta amat gigih bahkan
dengan nada sangat marah, menyelamatkan Republik dengan mempertahankan naskah
Linggajati di Sidang Pleno KNIP di Malang yang diselenggarakan pada 25 Februari
– 6 Maret 1947 dan hasilnya Persetujuan Linggajati diterima oleh Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sehingga anggota KNIP menjadi agak lunak pada 6
Maret 1947. Dan pada saat terjadinya Agresi Militer Belanda I pada 21 Juli
1947, Hatta dapat meloloskan diri dari kepungan Belanda dan pada saat itu dia
masih berada di Pematang Siantar. Dia dengan selamat bersama dengan Gubernur
Sumatera Mr. T. Hassan tiba di Bukittinggi. Sebelumnya pada 12 Juli 1947 Bung
Hatta mengadakan Kongres Koperasi pertama di Tasikmalaya. Pada hari itu juga,
Hari Koperasi Indonesia ditetapkan dan Bung Hatta ditetapkan sebagai Bapak
Koperasi Indonesia. Kemudian, Bung Hatta dengan kewibawaannya sebagai Wakil
Presiden hendak menggoalkan persetujuan Renville dengan berakibat jatuhnya
Kabinet Amir dan digantikan oleh Kabinet Hatta. Pada era Kabinet Hatta yang
dibentuk pada 29 Januari 1948, Bung Hatta menjadi Perdana Menteri dan merangkap
jabatan sebagai Menteri Pertahanan.
1956-1980: Setelah Pensiun
Setelah mundur dari jabatannya, dia dan keluarga berpindah rumah dari Jalan Medan Merdeka Selatan 13 ke Jalan Diponegoro 57. Bung Hatta tak pernah menyesal atas keputusan yang telah ia buat. Kegiatan sehari-hari Bung Hatta setelah pensiun adalah menambah dari penghasilan menulis buku dan mengajar. Meskipun sudah tak menjabat lagi sebagai Wakil Presiden, pada tahun 1957 dia berangkat ke Cina karena mendapat undangan dari Pemerintah RRC. Rakyat sana masih menganggap dia sebagai “a great son of his country”, terbukti dari penyambutan yang seharusnya diberikan kepada seorang kepala negara di mana PM Zhou Enlai sendiri menyambut dia yang bukan lagi sebagai wakil presiden. Ketika Presiden Soekarno berada di puncak kekuasaannya pada tahun 1963, Bung Hatta pertama kali jatuh sakit dan perlu perawatan di Swedia karena perlengkapan medis di sana lebih lengkap.
Sekitar tahun 1965, Bung Hatta sering jadi bulan-bulanan serangan politik PKI. Pada 31 Januari 1970, melalui Keppres No. 12/1970 telah dibentuk Komisi Empat yang bertugas mengusut masalah korupsi. Untuk keperluan itu Dr. Moh. Hatta (mantan Wakil Presiden RI) telah diangkat menjadi Penasehat Presiden dalam masalah pemberantasan Korupsi. Komisi Empat ini diketuai oleh Wilopo, SH, dengan anggota-anggota: IJ Kasimo, Prof. Dr. Yohanes, H. Anwar Tjokroaminoto, dengan sekretaris Kepala Bakin/Sekretaris Kopkamtib, Mayjen. Sutopo Juwono. Dr. Moh. Hatta juga ditunjuk sebagai Penasehat Komisi Empat tersebut. Bung Hatta dipercaya oleh Presiden Soeharto untuk menjadi Anggota Dewan Penasehat Presiden. Pada 15 Agustus 1972, Bung Hatta mendapat anugerah Bintang Republik Indonesia Kelas I dari Pemerintah Republik Indonesia.
Kemudian, di tahun yang sama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengangkat dia sebagai warga utama Ibukota Jakarta dengan segala fasilitasnya, seperti perbaikan besarnya pensiun dan penetapan rumah dia menjadi salah satu gedung yang bersejarah di Jakarta. Kemudian, pada tahun 1975, Bung Hatta menjadi anggota Panitia Lima bersama Prof Mr. Soebardjo, Prof Mr. Sunario, A.A. Maramis, dan Prof Mr. Pringgodigdo untuk memberi pengertian mengenai Pancasila sesuai dengan alam pikiran dan semangat lahir dan batin para penyusun UUD 1945 dengan Pancasilanya. Ternyata, Bung Hatta resmi menjadi Ketua Panitia Lima. Tak hanya itu, Bung Hatta kembali mendapatkan gelar doctor honouris causa sebagai tokoh proklamator dari Universitas Indonesia yang seharusnya diberikan pada tahun 1951. Pemberian gelar tersebut dilakukan di Jakarta pada 30 Juli 1975 dan diberikan secara langsung oleh Rektor Mahar Mardjono. Dan pada tahun 1979, dimana tahun tersebut merupakan tahun ke-5 Bung Hatta masuk ke rumah sakit. Kesehatan Bung Hatta semakin menurun. Walaupun begitu, semangatnya tetap saja tinggi. Ia masih mengikuti perkembangan politik dunia.
Wafat
Hatta wafat pada tanggal 14 Maret 1980 di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta setelah sebelas hari ia dirawat di sana. Selama
hidupnya, Bung Hatta telah dirawat di rumah sakit sebanyak 6 kali pada tahun
1963, 1967, 1971, 1976, 1979, dan terakhir pada 3 Maret 1980. Keesokan harinya,
dia disemayamkan di kediamannya Jalan Diponegoro 57, Jakarta dan dikebumikan di
TPU Tanah Kusir, Jakarta disambut dengan upacara kenegaraan yang dipimpin
secara langsung oleh Wakil Presiden pada saat itu, Adam
Malik. Ia ditetapkan sebagai pahlawan proklamator pada tahun 1986
oleh pemerintahan Soeharto.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Saran dan Kritik Anda